Pengertian Korupsi
Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang
berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai
suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai
menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan
administrasinya.
Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi
pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau
lembaga yang kompeten. Untuk pembahasan dalam situs MTI ini, pengertian
"korupsi" lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan
publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan
ISTILAH-ISTILAH UMUM DALAM KEGIATAN KORUPSI
1. Uang Tip
Sama
dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang
karena jasanya/pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya
Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.
2. Angpao
Pada
awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis
Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam
perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk
menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di
mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan
3. Uang Administrasi
Pemberian
uang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat
penting atau penyelesaian perkara/kasus agar penyelesaiannya cepat
selesai.
4. Uang Diam
Pemberian
dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak
ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika
memeriksa pertanggung jawaban walikota/gubernur agar pertanggung
jawabanya lolos.
5. Uang Bensin
Uang
yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh
seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu
sama lain, seperti antara temen satu dengan yang lain. Misalnya A minta
bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan,
uang bensinya mana ?
6. Uang Pelicin
Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.
7. Uang Ketok
Uang
yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada
pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota
legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui/mengesahkan anggaran
usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
8. Uang Kopi
Uang
tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta.
Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
9. Uang Pangkal
Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan/kegiatan agar pekerjaan tersebut lancar
AKIBAT KORUPSI
Korupsi selalu membawa konsekuensi.
Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi
dan pembangunan yang berkelanjutan adalah:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek
pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistimatik menyebabkan:
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
c
6 Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang
dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah:
“terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung
nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah
(2012-2014) bervisi “terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari
korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai
budaya yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan
diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas,
masyarakat sipil, hingga dunia usaha.
Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 6 strategi yaitu:
Pencegahan.
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa
berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di
kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan
menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi
pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang
berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban
atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma
dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku
dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi
pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan
Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control
of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing
business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks
yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan
semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih
banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi
masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya
penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang
inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada
akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust)
masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan
yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi
dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung
menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri
yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi
jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan
hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya
kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa
tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya.
Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka
penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan
tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik
perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan
strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum
Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam
proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap
penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan
Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka
diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi
UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia
untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya,
klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat
sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang
merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam
regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan
di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam
strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan
persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul
UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan
perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan
common practice yang terdapat pada negara-negara lain.
Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.
Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam
maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan
pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC.
Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari
putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap
perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari
suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction).
Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang
dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil
tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan
strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke
kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat
keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan
permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan
Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan
keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka
strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Praktik-praktik
korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah
beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya
menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan
sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan
internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta.
Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia
bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut
berperilaku aktif mendorong terwujudnya tata-kepemerintahan yang bersih
dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsa-prakarsa positif bagi upaya
PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-kepemerintahan pada umumnya.
Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku
Antikorupsi yang ada dikalangan tata-kepemerintahan maupun individu di
seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai
budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku
nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.
Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.
Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal
Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar
aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC.
Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik
maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan
pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK.
Keterbukaan dalam pelaporan kegiatan PPK akan memudahkan para pemangku
kepentingan berpartisipasi aktif mengawal segenap upaya yang dilakukan
oleh pemerintah, lembaga publik maupun sektor swasta. Keberhasilannya
diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap
laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka
harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses
penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi
sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat
sasaran.